Rabu, 29 November 2017

Sosok 7 Pahlawan Revolusi

Korban G30S/PKI di Lubang Buaya.


Tanggal 1 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
52 tahun lalu atau tepatnya pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah petinggi militer diculik dan dibunuh, dalam sebuah usaha kudeta. Peristiwa itu dikenal dengan nama Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI. Nama sumur Lubang Buaya di Cipayung, Jakarta Timur kemudian dikenal masyarakat luas. Bagaimana tidak, enam jenazah jenderal dan satu perwira TNI AD dikubur dalam sebuah sumur tua nan sempit, berdiameter 75 senti meter dengan kedalaman 12 meter. Jenazah tujuh TNI yang kemudian diberi gelar Pahlawan Revolusi itu, baru ditemukan pada 3 Oktober 1965.

Berikut tujuh Pahlawan Revolusi yang dikubur di Lubang Buaya:

1. Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Karir militernya diawali  dengan wajib militer di Malang saat pemerintahan Belanda.
Di zaman Jepang, ia juga sempat bergabung dengan PETA. Sejumlah prestasi di bidang militer berhasil ia raih, salah satunya mengalahkan pemberontak DI/TII.
Ia dijadikan target penculikan dan pembunuhan G30S/PKI karena menolak pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh dan tani yang dipersenjatai.
Ahmad Yani dibuang di sumur Lubang Buaya, dengan tubuh penuh luka tembak.


2. Letjen Suprapto

Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.
Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Suprapto juga menolak usul pembentukan Angkatan Kelima. Oleh karena itu pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Suprapto diculik dan dibunuh.
Ia juga dikubur di sumur Lubang Buaya.

3. Letjen M T Haryono

Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum).
Jenderal bintang tiga ini dikenal sangat cerdas dan menguasai tiga bahasa asing yakni Belanda, Inggris serta Jerman.
Dia ditembak mati, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya.  Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya.

4. Letjen Siswondo Parman

Pria kelahiran Wonosobo tanggal 4 Agustus 1918 ini merupakan tentara intelejen yang tahu bagaimana gerak-gerik PKI. Ia juga menolak usul D. N. Aidit tentang pembentukan Angkatan Kelima.
Parman sempat belajar di Sekolah Tinggi Kedokteran, tetapi urung mendapatkan gelar dokter karena Jepang telah berkuasa.
Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang dibunuh anggota Gerakan 30 September. Dia telah diperingatkan beberapa hari sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah rumah Parman di Jalan Syamsurizal no.32
Malam itu, bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, Parman ditembak mati dan tubuhnya dibuang di sebuah sumur bekas yang dikenal dengan Lubang Buaya.

5. Mayjen D. I. Pandjaitan

Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Karirnya terus naik, mulai dari komandan batalyon, lalu menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, hingga menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Mayjen D. I. Pandjaitan juga menjadi sasaran penculikan dalam G30S/PKI dan mayatnya ditemukan di lubang buaya.

6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.
Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer.
Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer.
Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London.
Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
Anggota Gerakan 30 September memaksa dan menjemputnya dengan mengatakan bahwa Sutoyo dipanggil Presiden Soekarno.
Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur.

7. Kapten Pierre Tendean

Kapten Pierre Tendean mengawali karir militer sebagai intelejen. Saat G30S/PKI terjadi, ia menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Kala itu, anggota Gerakan 30 September mengira Pierre adalah AH Nasution. Oleh karena itu, ia dibawa ke Lubang Buaya.
Di sana, ia disiksa dan dibunuh. Jasadnya dimasukkan ke sumur tua bersama enam orang lainnya.







Itulah ketuju Pahlawan Revolusi yang menjadi korban kejamnya G30S/PKI. Artikel ini di ambil dari Tribunnews, jika kritik dan saran dalam artikel ini, silahkan komen di kolom komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar