Korban G30S/PKI di Lubang Buaya.
Tanggal 1 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari
Kesaktian Pancasila.
1. Jenderal Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Karir
militernya diawali dengan wajib militer
di Malang saat pemerintahan Belanda.
Di zaman Jepang, ia juga sempat bergabung dengan PETA.
Sejumlah prestasi di bidang militer berhasil ia raih, salah satunya mengalahkan
pemberontak DI/TII.
Ia dijadikan target penculikan dan pembunuhan G30S/PKI
karena menolak pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh dan tani yang
dipersenjatai.
Ahmad Yani dibuang di sumur Lubang Buaya, dengan tubuh
penuh luka tembak.
2. Letjen Suprapto
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini
boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya
terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.
Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat
SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya
pada tahun 1941.
Suprapto juga menolak usul pembentukan Angkatan
Kelima. Oleh karena itu pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Suprapto diculik
dan dibunuh.
Ia juga dikubur di sumur Lubang Buaya.
3. Letjen M T Haryono
Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari
1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar)
kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum).
Jenderal bintang tiga ini dikenal sangat cerdas dan
menguasai tiga bahasa asing yakni Belanda, Inggris serta Jerman.
Dia ditembak mati, diseret melalui kebun, dan tubuhnya
dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan
dibawa ke Lubang Buaya. Jenazahnya
disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh
lainnya.
4. Letjen Siswondo Parman
Pria kelahiran Wonosobo tanggal 4 Agustus 1918 ini
merupakan tentara intelejen yang tahu bagaimana gerak-gerik PKI. Ia juga
menolak usul D. N. Aidit tentang pembentukan Angkatan Kelima.
Parman sempat belajar di Sekolah Tinggi Kedokteran,
tetapi urung mendapatkan gelar dokter karena Jepang telah berkuasa.
Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang
dibunuh anggota Gerakan 30 September. Dia telah diperingatkan beberapa hari
sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak
ada penjaga yang mengawasi rumah rumah Parman di Jalan Syamsurizal no.32
Malam itu, bersama dengan tentara lain yang telah
ditangkap hidup-hidup, Parman ditembak mati dan tubuhnya dibuang di sebuah
sumur bekas yang dikenal dengan Lubang Buaya.
5. Mayjen D. I. Pandjaitan
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925.
Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah
Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah
Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk
menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama
para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Karirnya terus naik, mulai dari komandan batalyon,
lalu menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, hingga
menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Mayjen D. I. Pandjaitan juga menjadi sasaran
penculikan dalam G30S/PKI dan mayatnya ditemukan di lubang buaya.
6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan
sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama masa pendudukan
Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.
Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di
Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia.
Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan
Polisi Militer.
Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi
Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi
Militer.
Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum
diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London.
Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur
Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961
ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
Anggota Gerakan 30 September memaksa dan menjemputnya
dengan mengatakan bahwa Sutoyo dipanggil Presiden Soekarno.
Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang
Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur.
7. Kapten Pierre Tendean
Kapten Pierre Tendean mengawali karir militer sebagai
intelejen. Saat G30S/PKI terjadi, ia menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris
Nasution.
Kala itu, anggota Gerakan 30 September mengira Pierre
adalah AH Nasution. Oleh karena itu, ia dibawa ke Lubang Buaya.
Di sana, ia disiksa dan dibunuh. Jasadnya dimasukkan
ke sumur tua bersama enam orang lainnya.
Itulah ketuju Pahlawan Revolusi yang menjadi korban kejamnya G30S/PKI. Artikel ini di ambil dari Tribunnews, jika kritik dan saran dalam artikel ini, silahkan komen di kolom komentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar